BATAK LYRIC

Kumpulan Lirik Lagu-lagu Batak Toba, Simalungun, Karo, Pak-Pak & Dairi

Ads

Mitologi Batak

Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.

A. Kosmologi


Dalam mitologi Batak dunia dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu dunia atas, yang disebut Banua Ginjang, dunia tengah, yang disebut Banua Tonga dan dunia bawah tanah yang disebut Banua Toru. Dunia tengah, tempat manusia hidup, juga merupakan perantara antara dunia atas dan dunia bawah tanah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewata sedangkan dunia bawah tanah adalah tempat tinggal setan serta roh-roh bumi dan kesuburan. Warna yang sering digunakan orang Batak baik bagi peralatan rumah tangga, Hauduk, kain Ulos dan ukiran kayu adalah putih, merah dan hitam merupakan simbol dari tiga dunia ini.

B. Makhluk supernatural

Pencipta dunia dalam mitologi Batak adalah Mulajadi na Bolon (atau Debata Mulajad Nabolon). Mulajadi na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Ini dilakukan dengan istrinya Manuk Patiaraja (Manuk Patiaraja dilambangkan sebagai seekor ayam betina berwarna biru) yang kemudian nelurkan tiga butir telur. Dari tiga telur itu kemudian menetas. Dia juga dibantu dengan sederetan dewa-dewi lainnya, yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkat dalam dunia atas. Anak-anaknya merupakan tiga dewata bernama :

1. Batara Guru

Batara Guru merupakan Dewa yang merajai Banua Ginjang atau dunia atas. Dalam mitologi Jawa dan Hindu, dia juga dinamai dengan Batara Guru, yaitu Dewa yang mengatur wahyu kepada para wayang, hadiah, dan ilmu-ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa): 1. Batara Sambu 2. Batara Brahma 3. Batara Indra 4. Batara Bayu 5. Batara Wisnu 6. Batara Ganesha 7. Batara Kala 8. Hanoman Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Hyang Tunggal. Diciptakannya bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal kemudian diputuskan kalau Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa. Adapun saat Batara Guru diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Oleh Hyang Tunggal diketahuinya perasaan Manikmaya itu, lalu Hyang Tunggal bersabda kalau Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal itu, dan sabdanya itu betul-betul terjadi. Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu, yang ternyata airnya beracun, lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Saat lahirnya Nabi Isa, Manikmaya juga datang untuk menyaksikan. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya.
Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini apat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini. Batara Guru adalah nama lain Siwa (Bahasa Sansekerta: Śiva), atau kadangkala ditulis Shiva, menurut ejaan bahasa Inggris, adalah salah satu Dewa Utama, Trimurti dalam agama Hindu yang berjumlah tiga. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa (Çiwa / Shiva) adalah manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur, melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga segala ciptaan Tuhan tersebut harus dikembalikan kepada asalnya (Tuhan). Dalam keyakinan umat Hindu (khususnya Hindu India), Dewa Çiwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya, yakni: • bertangan empat, masing-masing membawa: trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi • bermata tiga (tri netra) • pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit) • ikat pinggang dari kulit harimau • hiasan di leher dari ular kobra • kendaraannya lembu nandini Orang bijaksana memberinya gelar Dewa angin dan Dewa cinta kasih. Beliau tampak sebagai Dewa yang memancarkan kasih sayang kepada makhluk hidup. Sebaliknya bagi orang yang hidupnya penuh dosa, Beliau tampak sebagai Dewa yang menyeramkan, matanya melotot dan memegang banyak senjata, seolah-olah hendak membinasakan apapun yang ada di hadapannya. Dewa Siwa memiliki sakti Dewi Uma dan Durgha. Dewi Uma merupakan Dewi yang tampak sangat cantik dan lemah lembut sedangkan Dewi Durgha merupakan Dewi kematian yang tampak menyeramkan, mata melotot dan tangannya penuh senjata. Di Bali, beliau dipuja di Pura Dalem, sebagai Dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga, Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Beliau bersenjata padma dan mengendarai lembu nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Dipuja di Pura Besakih.Dalam tradisi Indonesia, kadangkala Siwa disebut Batara Guru. Selain dikenal dalam kisah wayang, nama Batara Guru juga dikenal dalam mitologi Batak sebagai dewa yang tinggal di Banua Ginjang.

2. Soripada

Soripada adalah anak kedua dari Mulajadi na Bolon dan Manuk Patiaraja dalam mitologi Batak. Ia dapat disamakan dengan dewa Wisnu di mitologi Hindu. Soripada juga sering disebut Sripathi atau Sori. Sebagai dewa ia turut serta dalam menciptakan Banua Ginjang.

3. Mangala Bulan.

Mangala Bulan adalah anak ketiga dari Mulajadi na Bolon dan Manuk Patiaraja dalam mitologi Batak. Ia menciptakan dunia bawah atau Banua Toru. Ia juga digambarkan sebagai dewa yang baik sekaligus jahat. Ambiguasi peranannya dalam mitologi Batak menyebabkan ia juga sering dikenal dengan nama lain seperti Paduka ni Aji, Pane na Bolon, Naga Padoha (Naga Padoha adalah seekor ular mitologis. Naga Padoha muncul dalam mitologi Bali dan mitologi Batak. Ular ini biasa digambarkan dalam pertempuran dengan Batara Guru (atau Batara Gura) sebagai simbol pertarungan antara kejahatan dan kebaikan) dan Debata Asi-asi. Ambiguasi lainnya muncul karena selain menguasai dunia bawah tanah, ia juga menguasai bulan. Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Ketiga dewa ini yang kemudian menciptakan tiga tingkat dunia.
1.Banua Ginjang atau dunia atas (kahyangan) tempat tinggal para dewa. Tempat mitologis ini berada di langit dan dapat dibagi menjadi tujuh tingkat langit. Di sini tinggal Debata Mulajadi na Bolon, serta ketiga putranya, yaitu Batara Guru, Soripada (disebut juga Sori atau Sore), dan Mangalabulan (atau Balabulan). Selain itu juga tinggal Debata si Asiasi. Ia adalah dewa pengasihan.
2. Banua Tonga adalah dunia tempat tinggal manusia. Banua Tonga terletak di antara Banua Ginjang (dunia atas) dan Banua Toru (dunia bawah). Diceritakan dalam mitologi Batak bahwa Banua Tonga diciptakan oleh para dewata dari Banua Ginjang dalam pertempuran melawan Naga Padoha. Jika mereka bertempur di Banua Toru, maka Naga Padoha mungkin dapat mengalahkan para dewata. Oleh karena itulah diciptakan Banua Tonga. Pada akhirnya para dewata dapat mengalahkan Naga Padoha. Naga Padoha akhirnya diikat di Banua Toru. Sedangkan Banua Tonga mulai sedikit demi sedikit dihuni oleh manusia.
3. Banua Toru adalah dunia bawah tanah. Di sini tinggal seekor ular mitologis yang bernama Naga Padoha. Ketiga Dewa ini juga dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (tiga dewa dalam satu) atau Debata na Tolu (tiga dewata). Dalam urut-urutan dewata mereke berada di bawah Mulajadi na Bolon. Diceritakan pula bahwa Mulajadi na Bolon telah mengirim putrinya Tapionda ke bumi ke kaki gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di Batak. Dewa lain yang juga penting adalah Debata Idup (dewakehidupan) dan Pane na Bolon (dewa dalam mitologi Batak yang dipercayai menguasai dunia tengah atau Banua Tonga. Ia memiliki bentuk seekor ular naga. Karena kekuasaannya adalah dunia tempat manusia tinggal, ia juga memiliki simbol delapan arah mata angin, yang dalam bahasa Karo-Batak disebut desa na ualudesa sialuh. Dewa ini memiliki sifat yang menghancurkan. Ia dapat menghancurkan tanaman dan binatang serta mencengkeram jiwa manusia. Seorang Datu (dukun) sering ditanya dimana arah kepala ular naga itu di arah mata angin, untuk mengarahkan sebuah usaha yang direncanakan. AKarena itu di bulan-bulan Oktober, November dan Desember (Si Paha pitu, -ualu, -sia) kepala naga itu menghadap Pastina atau arah barat. Seorang Datu akan menganjurkan seorang pejuang untuk membelakangi Purba, Angoni atau Irisana (Timur, Timur tenggara atau Timur laut) agar Pane na Bolon tidak dapat mengambil jiwanya serta terhindar dari bahaya dilukai atau dibunuh oleh musuh) Banyak dewa-dewi lain yang juga masih sekerabat dengan dewa-dewi Hindu di India. Antara lain Boraspati ni Nato (dewa dalam mitologi Batak Ia merupakan dewa air) dan Boru Saniang Naga (Ia merupakan dewa tanah dan bumi. Dalam beberapa sumber ia juga disebut sebagai dewa air) Selain itu juga ada roh-roh yang mendiami danau, sungai dan gunung. Dalam kepercayaan animisme Batak tradisional, semua dewa-dewi ini masih dipercayai disamping roh-roh dan jiwa leluhur (Begu).
Orang Batak mempunyai nama marga/keluarga yang biasanya dicantumkan di-akhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, Induk Marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatean Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatean Bulan sendiri mempunyai 4 (empat) orang putra yakni Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang. Sedangkan suku batak lainnya mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang asal muasal suku batak. Masyarakat Batak yang tinggal di kawasan sebelah Selatan dari Provinsi Sumatra Utara, Mandailing dan Angkola, kurang sepaham dengan ragam pendapat tentang budaya Batak yang biasanya dianut dan diyakini (bersumber) dari masyarakat Batak yang tinggal di kawasan Utara dan Tengah dari Provinsi Sumatra Utara. Masyarakat Batak (Mandailing dan Angkola), dominan menganut agama Islam, sehingga menolak mengakui asal-usul Batak dari Si Raja Batak. Pengakuan tentang Si Raja Batak tidak memiliki indikator atau bukti-bukti yang sah. Karena, keberadaan kerajaan sebagai wilayah pemerintahan tidak jelas hingga sekarang. Di Sumatra Utara, peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan justru sangat kuat diwariskan oleh pengaruh Melayu (Islam) Logikanya, bagaimana Si Raja Batak dapat menjadi asal mula orang Batak? Pertanyaan ini masih perlu dijawab para antropolog.Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian bermunculan berbagai macam marga yang saking banyaknya sampai sekarang belum bisa dipastikan jumlahnya. Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini namun biasanya sering disangkutpautkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Nasution adalah marga Batak Mandailing, Hutasuhut adalah marga Batak Angkola, Silaban adalah marga Batak Toba, Purba adalah marga Batak Simalungun, Ginting adalah marga Batak Karo, dan seterusnya.